Hampir 4 tahun berlalu sejak eksekusi mati terakhir dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. Pada Juli 2016 itu, empat belas terpidana bersiap menghadapai regu tembak, tapi di penghujung waktu, 10 terpidana batal dieksekusi. Salah satu terpidana yang lolos itu bernama Merri Utami. Tapi cerita tentang Merri bukanlah sebuah kisah keberuntungan.
Merri Utami merupakan perempuan yang berasal dari Sukoharjo, Jawa Tengah. Ia bekerja sebagai buruh migran di luar negeri demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Merri harus menjadi tulang punggung keluarga setelah ia berpisah dengan suaminya yang sering melakukan kekerasan terhadapnya.
Merri berkenalan dengan seorang bernama Jerry yang mengaku adalah pebisnis dari Kanada. Perilaku Jerry yang ramah terhadap Merri dan anak-anaknya membuat Merri percaya kepadanya. Jerry mengajak Merri untuk berlibur ke Nepal dan kemudian menghadiahinya sebuah tas.
Ketika kembali ke Jakarta, petugas Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta menghentikan Merri. Petugas menemukan heroin seberat 1,1 kg tersembunyi di rangka tasnya. Merri yang kebingungan berupaya menelpon Jerry yang pulang lebih awal ke Indonesia. Panggilan teleponnya tidak diangkat. Merri sadar bahwa Jerry bukanlah orang yang ia kenal selama ini; ia adalah anggota sindikat narkotika yang kerap mengeksploitasi kerentanan ekonomi dan sosial perempuan untuk menjadi kurir.
Selama pemeriksaan di kepolisian, Merri mengaku mengalami pemukulan dan pelecehan seksual bertubi-tubi. Ia juga dipaksa untuk menandatangani beberapa dokumen Berita Acara Pemeriksaan (BAP) di mana ia mengakui bahwa dirinya adalah pemilik narkotika tersebut. Ketidakadilan selama proses peradilan ini membuat Merri mendapatkan vonis mati.
Pada tanggal 23 Juli 2016, Merri mendapat perintah secara mendadak untuk mempersiapkan diri. Petugas memindahkannya ke sel penjara Nusakambangan. Selama lima hari, Merri hanya bisa berdoa dan meminta pendampingan rohaniawan.
Pengacara Merri Utami mendapatkan notifikasi bahwa Merri akan menjalani eksekusi mati. Padahal Merri sudah mengajukan grasi dan sedang menunggu jawaban dari Presiden Joko Widodo. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi menjelaskan bahwa terpidana mati yang telah mengajukan grasi tidak dapat dieksekusi hingga diterimanya keputusan dari Presiden.
Tepat di tanggal 29 Juli 2016, ketika satu per satu narapidana mati dipanggil, Merri mendapatkan kabar bahwa eksekusi atas dirinya ditangguhkan. Ia lolos dari eksekusi, tapi dirinya masih hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Apa yang terjadi pada Merri Utami bisa menjadi gambaran bahwa perempuan rentan menjadi korban ketidakadilan ketika hukum tentang narkotika bersifat punitive dan tidak sensitif gender. Banyak perempuan seperti Merri yang harus mempertaruhkan nyawa hanya karena relasinya dengan pasangan intim.
Terhitung 18 tahun sudah Merri mendekam di dalam penjara. Di tengah kegelisahan dan ketidakpastian, ia masih memendam harapan akan suatu masa di mana ia bisa bertemu dan berkumpul dengan keluarganya. Ia menunggu Presiden untuk menjawab permohonan grasinya dengan simpati dan pemahaman mendalam tentang pengalamannya sebagai korban eksploitasi sindikat narkotika.
Mari bantu saya untuk mendorong Presiden Joko Widodo segera mengabulkan permohonan grasi Merri. Delapan belas tahun adalah waktu yang terlalu lama untuk seseorang habiskan dalam ketidakadilan dan keyakinan menyiksa bahwa nyawanya bisa dicabut sewaktu-waktu. Bantu Merri untuk segera bebas dengan menandatangani petisi ini!
Teman-teman juga dapat melihat video animasi singkat kisah Merri Utami dengan mengklik link berikut: hri.global/MerriUtami
Salam,
M. Afif Abdul Qoyim
LBH Masyarakat
Jakarta, 23 Juli 2020
#HapusHukumanMati #GrasiUntukMerry
----------------